Minggu, 12 September 2010

SEMUT YANG SOMBONG DAN PEMALAS


Pada akhir musim kemarau, iring-iringan semut merah merambat naik ke pohon mangga. Mereka bernyanyi riang dengan suara keras, menandakan semangat dan hati gembira.
Iring-iringan itu membentuk garis panjang dan mereka berpisah dalam kelompok-kelompok menuju kumpulan daun lebat yang menggantung di ranting-ranting pohon.
Rupanya hari ini adalah saatnya bagi semut merah untuk membuat sarang. Sebentar lagi musim hujan, mereka tidak ingion kedinginan dan kehujanan. Jadi dalam beberapa hari, mereka akan sibuk membuat tempat berlindung dan mengumpulkan makanan untuk persediaan selama musim hujan turun.
Setiba di atas pohon, mereka meniti kumpulan daun mangga dan menetapkan daun yang tebal, lebar, dan saling berdekatanlah yang paling cocok untuk dibuat sarang. Ini adalah saat yang paling menyenangkan bagi mereka.
Terdengar nyanyian bersahut-sahutan. Semut-semut itu bekerja giat dan sukacita. Tetapi tidak semuanya. Sima, asyik bermain dan tidak menghiraukan ajakan teman-teman untuk membuat sarang.
Ketika para semut sibuk menjalin daun-daun menjadi kuncup tertutup, Sima justru menghampiri dan membujuk mereka untuk bermain.
“Hai teman-teman, sibuk amat. Capek ya membuat sarang? Pasti membosankan,lebih baik ikut aku. Di pohon sebelah sana, ada buah yang merah ranum berair manis dan lezat sekali.”
Beberapa temannya sempat tergoda. Tetapi Pak Bijak, semut paling tua dan bijaksana, segera mengingatkan mereka.
“Aaaahhh…., jangan dengarkan Sima. Kalian harus ingat, musim hujan sudah dekat. Jangan bermalas-malasan. Pikirkan hari esok, bersiaplah untuk hujan terbesar jika kalian ingin selamat dan makan berkecukupan!” teriak Pak Bijak.
Mendengar hal ini, teman-teman Sima segera sadar dan bekerja kembali.
“Hai, Sima. Kau seharusnya juga bersiap-siap, musim hujan akan diawali dengan hujan deras yang terus menerus disertai angin kencang. Jika kau hanya bermain-main dan tidak mau bergotong royong membuat sarang, kau tidak akan memiliki tempat tinggal saat hujan benar-benar dating !” kata Pak Bijak menasihati Sima.
“Ahhhh, Pak Bijak cerewet, Musim hujan tidak akan separah itu. Lihat, hari ini cerah sekali. Lebih baik bersenang-senang, mencicipi berbagai buah yang manis, Sayang jika dilewatkan, Pak.”
“Dasar pemalas. Terserah kau saja. Tetapi ingat, jika musim hujan dating, kau pasti menyesal tidak membantu kamimembuat sarang.” Pak Bijak berkata dengan marah dan meninggalkan Sima yang hanya tertawa-tawa.
Keesokan harinya, enam buah sarang yang kokoh telah terbentuk. Ada celah kecil yang merupakan pintu bagi para semut untuk keluar masuk sarang.
Kegiatan hari ini adalah mengumpulkan persediaan makanan. Setiap kelompok semut ditugaskan mengangkat potongan kecilbuah yang bisa dibawanya.
Sejak pagi hari mereka sibuk naik turun pohon manga atau merambat ke pohon sebelahnya untuk membawa makanan dan memasukkannya ke sarang.
Saat semua bekerja, Sima terlihat bermalas-malasan di sehelai daun yang melambai perlahan ditiup angin. Ia hanya mengawasi kawan-kawannya bekerja. Ketika terasa lapar, ia mencari buah yang matang lalu memakannya hingga kekenyangan. Jika bosa, ia akan bernyanyi-nyanyi dan kemudian tidur.
Teman-teman menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Sima. Seekor semut mengingatkan lagi agar Sima ikut membantu membuat sarang. Ia menakut-nakuti jika Sima ikut bekerja, mereka tidak akan menerima Sima tinggal di sarang ketika huja datang.
Tetapi Sima dengan sombongh berkata, hujan tidak membuatnya takut dan ia aka bersembunyi di bawah daun untuk melindungi diri dari hujan.
Menjelang sore, semua makanan yang diperlukan telah diangkat ke dalam sarang. Para semut berkumpul dan memasuki sarang masing-masing. Langit bertambah gelap karena mendung tiba-tiba datang. Udara terasa dingin dan angin mulai bertiup kencang.
Para semut merapatkan pintu sarang dengan kuat agar angin tidak tembus ke dalam. Sima, yang saat itu sedang tertidur pulas, mendadak bangun dan terkejut karena suara petir yang keras. Darrr….gelegarrrr….!!!!
Hati Sima terasa ciut. Mungkinkah hujan datang seperti itu? Tak lama kemudian, butiran air hujan mulai turun, semakin lama semakin deras disertai angin kencang.
Hujan membasahi Sima dan sekitarnya. Ia mencoba berlindung di bawah sehelai daun, tetapi angin dengan kuat mengguncang-guncang daun hingga putus dari rantingnya. Sima terlempar ke tanah.
Dengan susah payah, Sima memanjat ke pohon mangga. Dilihatnya samar-samar sarang yang dibuat teman-teman terlindung kokoh dan aman. Air deras dan angin menerjangnya berkali-kali.
Sima mencoba bertahan dan terus berusaha merayap ke atas. Di bawah, air hujan mulai membanjiri tanah. Jika ia terpeleset dan jatuh, air akan segera menenggelamkannya dan ia akan mati.
Ketika berhasil mencapai sebuah sarang, Sima mengetuk-ngetuk pintu, tetapi tak ada yang membukakan. Ia mencoba ke sarang lain, tetapi tak ada yang menjawab. Sima sangat ketakutan karena hari semakin gelap dan hujan tidak kunjung reda.
Ia mulai menangis dan menyesali kemalasannya. Ia terus berkata pada dirinya, “Seharusnya aku mendengar kata-kata Pak Bijak…., seharusnya aku tidak malas.”
Akhirnya Sima tiba di sarang terakhir yang dihuni Pak Bijak dan teman-teman. Sima mengetuk pintuk kuat-kuat. Sekuat tenaga ia berteriak minta tolong dan meminta maaf atas kesombongan dan kemalasannya.
Tubuh Sima Lemas dan kedinginan. Ketika pegangan Sima mulai lemah dan nyaris jatuh ke bawah, tiba-tiba pintu sarang terbuka dan beberapa tangan terulur meraih dan memasukkannnya dengan cepat ke dalam sarang. Kemudian semua menjadi hangat dan kering.
HUjan turun terus menerus selam seminggu. Para semut dapat tinggal di sarang yang nyaman dan cukup makanan karena mereka mau bekerja keras.
Sima, yang alkhirnya ditolong oleh Pak Bijak dan teman-temannya, sangat malu dengan sikapnya yang sombong dan malas. Ia menyesali perbuatannya dan berjanji dengan sungguh-sungguh tidak akan sombong dan malas bekerja lagi.

(Kompas 2 Mei 2010,Oleh Nila Ayu, dituliskan kembali oleh I Gede Raka Subawa)